VIVAnews –
Siang itu, Nurlia sedang sibuk membersihkan rumah, sembari mengasuh
anaknya yang masih balita. Kartu-kartu pemilih warga RT 04/04, Cipinang
Muara tersusun rapi di atas meja tamu. Tiba-tiba terdengar suara ketukan
di pintu.
Saat pintu dibuka,
terlihat dua pria berdiri di muka rumah. Mereka mengaku petugas dari
Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS) Kelurahan Cipinang
Muara. Salah satu pria menjelaskan, di antara kartu-kartu pemilih yang
diterima Bu Sekretaris RT, ada lima yang harus ditarik. Alasannya, ada
kesalahan pendataan.
Tapi, Nurlia tak percaya
begitu saja. Dia khawatir, dua pria itu bukan petugas. Jangan sampai dia
nantinya disalahkan atas berkurangnya lima kartu. “Saya nggak mau
ngasih begitu saja waktu itu, saya takut saja kalau ternyata mereka
bukan petugasnya,” tutur ibu dua anak itu pada VIVAnews yang menyambangi kediamannya, Senin 9 Juli 2012.
Nurlia makin curiga, saat
dua pria itu meminta dengan nada memaksa. “Saya sih bertahan. Biar
kartu itu saya pegang dulu, soalnya belum saya data, eh tahu-tahu mau diminta,” kata dia.
Komunikasi Nurlia dan dua
pria dengan intonasi tinggi, saling mempertahankan pendiriannya,
terdengar oleh tetangga sekitar. “Untungnya, tetangga-tetangga saya pada
ke luar. Mereka nggak berapa lama langsung pergi,” kata perempuan 29
tahun itu.
Setelah dua pria itu
pergi, Nurlia makin penasaran. Ia lantas memeriksa tumpukan kartu
pemilih, dicocokkan dengan daftar nama pemilih di lingkungannya. Ada
lima nama yang tak dia kenal. Alamat yang tertera pun membuat keningnya
berkerut. “ Seumur-umur saya baru tahu ada Gang Toge, saya baru dengar,
makanya saya bingung kenapa bisa ada kartu pemilih ini,” ungkapnya.
Kelima pemilik kartu tinggal di alamat yang sama: Jalan Cipinang Muara, Gang Toge, nomor 35, RT 04/RW 04, Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Kartu-kartu itu tertulis atas nama Supriyanto, Wartini, Muhammad Nugroho, Faisal, dan Parasian Sitohang. Jangankan bisa menebak hubungan di antara kelimanya, Nulia bahkan belum pernah mendengar nama mereka.
Untuk membuktikan bahwa memang tak ada Gang Toge di lingkungannya, di bawah terik matahari, Nurlia mengajak VIVAnews menyusuri kawasan tempat ia tinggal. Menyusuri gang demi gang yang sempit, menempuh jarak sekitar 500 meter. “Di sini itu nama gangnya semua pakai abjad. Ada A, B, C, BB. Tak ada Gang Toge,” kata Nurlia, sibuk menunjuk ke arah gang-gang yang ia sebutkan.
Di sudut gang, ada seorang perempuan paro baya yang sedang berbelanja di gerobak sayur, sambil mengobrol dengan para ibu lain. Namanya Halifah, sudah puluhan tahun ia tinggal di kawasan itu. Tapi, saat ditanya soal keberadaan Gang Toge, wajah menunjukkan ekspresi terkejut. “Toge? Di sini nama gangnya pakai abjad,” kata dia.
Terdiam sejenak, Halifah berusaha menggali ingatan masa lalunya. “Ah, saya ingat, sepuluh tahun lalu memang di depan rumah saya ini berdiri pabrik tauge,” kata dia. Tapi itu tak ada hubungannya dengan Gang Toge yang misterius. “Namanya Gang F, bukan Gang Toge,” kata dia.
Dengan bersemangat, ia menceritakan, pabrik tauge itu bangkrut, pemiliknya tak lagi mampu membiayai produksi. Tempat usaha itu ditutup, bangunannya diratakan. Tak berapa lama, tanah itu berpindah tangan. Di bekas lahan pabrik tauge kini berdiri rumah kontrakan tiga pintu.
Saat melihat nama-nama yang tertera dalam lima kartu pemilih yang beralamat di Gang Toge, Halifah mengerenyitkan kening. “Tidak ada yang saya kenal. Rumah saya, alamatnya Gang F nomor 37. Nomor rumah 35 sesuai alamat tak ada di sini,” kata dia. “Ini mungkin “pemilih hantu”,” tambah Halifah, terkekeh.
Labirin berliku di RT 04/04 sudah semua disisir. Tak ada yang bernama Gang Toge. Nama-nama yang tertulis dalam kartu pemilih tak diketaui asal dan keberadaannya.
“Biasanya salah ketik”
Pada Selasa 10 Juli 2012, sehari sebelum pencoblosan, VIVAnews menemui Ketua KPPS kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Siang itu, Zainal Arifin, tenggelam di antara tumpukan berkas di hadapannya.
Pria berusia 40 tahun itu tampak lelah, setelah melakukan pertemuan dengan kepolisian setempat. Juga menanggapi keluhan warga yang tak putus-putusnya melaporkan masalah hak pilih. Ada yang tak dapat kartu pemilih hingga H-1, tak tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), juga mereka yang tak dapat undangan ke tempat pemilihan suara (TPS).
Saat dikonfirmasi soal lima nama di Gang Toge yang diduga fiktif, ia menjawab dengan nada datar. "Nanti kami akan minta kartu itu kalau memang tidak benar alamatnya. Karena bisa saja ini bentuk kesalahan administratif,” kata dia.
Zainal menceritakan, dua hari sebelum pencoblosan, banyak warga berbondong-bondong datang, untuk mendaftarkan diri atau bahkan memprotes. "Kesalahan nama dan alamat di kartu pemilih itu biasa terjadi. Biasanya karena salah ketik," tambah dia.
***
Kelima pemilik kartu tinggal di alamat yang sama: Jalan Cipinang Muara, Gang Toge, nomor 35, RT 04/RW 04, Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Kartu-kartu itu tertulis atas nama Supriyanto, Wartini, Muhammad Nugroho, Faisal, dan Parasian Sitohang. Jangankan bisa menebak hubungan di antara kelimanya, Nulia bahkan belum pernah mendengar nama mereka.
Untuk membuktikan bahwa memang tak ada Gang Toge di lingkungannya, di bawah terik matahari, Nurlia mengajak VIVAnews menyusuri kawasan tempat ia tinggal. Menyusuri gang demi gang yang sempit, menempuh jarak sekitar 500 meter. “Di sini itu nama gangnya semua pakai abjad. Ada A, B, C, BB. Tak ada Gang Toge,” kata Nurlia, sibuk menunjuk ke arah gang-gang yang ia sebutkan.
Di sudut gang, ada seorang perempuan paro baya yang sedang berbelanja di gerobak sayur, sambil mengobrol dengan para ibu lain. Namanya Halifah, sudah puluhan tahun ia tinggal di kawasan itu. Tapi, saat ditanya soal keberadaan Gang Toge, wajah menunjukkan ekspresi terkejut. “Toge? Di sini nama gangnya pakai abjad,” kata dia.
Terdiam sejenak, Halifah berusaha menggali ingatan masa lalunya. “Ah, saya ingat, sepuluh tahun lalu memang di depan rumah saya ini berdiri pabrik tauge,” kata dia. Tapi itu tak ada hubungannya dengan Gang Toge yang misterius. “Namanya Gang F, bukan Gang Toge,” kata dia.
Dengan bersemangat, ia menceritakan, pabrik tauge itu bangkrut, pemiliknya tak lagi mampu membiayai produksi. Tempat usaha itu ditutup, bangunannya diratakan. Tak berapa lama, tanah itu berpindah tangan. Di bekas lahan pabrik tauge kini berdiri rumah kontrakan tiga pintu.
Saat melihat nama-nama yang tertera dalam lima kartu pemilih yang beralamat di Gang Toge, Halifah mengerenyitkan kening. “Tidak ada yang saya kenal. Rumah saya, alamatnya Gang F nomor 37. Nomor rumah 35 sesuai alamat tak ada di sini,” kata dia. “Ini mungkin “pemilih hantu”,” tambah Halifah, terkekeh.
Labirin berliku di RT 04/04 sudah semua disisir. Tak ada yang bernama Gang Toge. Nama-nama yang tertulis dalam kartu pemilih tak diketaui asal dan keberadaannya.
“Biasanya salah ketik”
Pada Selasa 10 Juli 2012, sehari sebelum pencoblosan, VIVAnews menemui Ketua KPPS kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Siang itu, Zainal Arifin, tenggelam di antara tumpukan berkas di hadapannya.
Pria berusia 40 tahun itu tampak lelah, setelah melakukan pertemuan dengan kepolisian setempat. Juga menanggapi keluhan warga yang tak putus-putusnya melaporkan masalah hak pilih. Ada yang tak dapat kartu pemilih hingga H-1, tak tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), juga mereka yang tak dapat undangan ke tempat pemilihan suara (TPS).
Saat dikonfirmasi soal lima nama di Gang Toge yang diduga fiktif, ia menjawab dengan nada datar. "Nanti kami akan minta kartu itu kalau memang tidak benar alamatnya. Karena bisa saja ini bentuk kesalahan administratif,” kata dia.
Zainal menceritakan, dua hari sebelum pencoblosan, banyak warga berbondong-bondong datang, untuk mendaftarkan diri atau bahkan memprotes. "Kesalahan nama dan alamat di kartu pemilih itu biasa terjadi. Biasanya karena salah ketik," tambah dia.
***
Gang Toge hanya satu dari
ribuan alamat fiktif yang lolos dalam DPT. Meski kelihatannya sepele,
jika dibiarkan bertumpuk, persoalan seperti itu bisa berujung pada
tsunami politik-hukum dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)
DKI Jakarta 2012.
Sejak awal penetapan DPT
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta pada Sabtu, 2 Juni
2012, kisruh DPT menjadi sorotan utama. Wajar saja, karena DPT sangat
berpengaruh terhadap perolehan suara. Sedangkan, peroleh suara menjadi
penentu siapa pemenang dan siapa kalah dalam pertempuran Pemilukada.
Dengan problematika data pemilih ini, bagaimana legitimasi Pemilukada DKI 2012?
Direktur Komunikasi
Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi mengatakan, masalah
DPT membuat Pemilukada DKI Jakarta 2012 dipertanyakan legitimasinya.
“Karena merugikan banyak warga kehilangan hak pilihnya, bisa
dipermasalahkan,” tegas dia. Berdasarkan hitung cepat (quick count) pemilu putaran pertama Rabu 11 Juli 2012, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama meraih suara lebih dari 42 persen, unggul dari pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang mendapat sekitar 33 persen.
Meski putaran pertama telah dilalui, bukan berarti persoalan DPT dilupakan begitu saja. Sebab, ada ribuan warga ibu kota telah kehilangan, atau terancam kembali dirampas hak pilihnya. Apalagi, masih ada putaran kedua 20 September 2011 mendatang. Pertarungan sejatinya belum usai.